Belum genap setahun di Kidulloji, Romo Soegijapranata pindah ke Pastoran Bintaran untuk mengepalai paroki pribumi. Gereja St. Yoseph Bintaran digunakan untuk perayaan Ekaristi untuk pertama kali oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. A. van Hoof pada tanggal 8 April 1934 dengan dihadiri oleh sekitar 1.800 umat pribumi. Jadi, sungguh-sungguh merupakan gereja yang baru untuk kaum Katolik pribumi. Letak gereja Bintaran tidak jauh, sekitar satu kilometer, dari gereja Kidulloji, dipisahkan oleh sebuah sungai yang membelah Kota Yogyakarta, yaitu Sungai Code. Daerah Bintaran bukanlah wilayah asing bagi Romo Soegijapranata. Kampung Bintaran, wilayah di mana Gereja Bintaran berada, letaknya bersebelahan dengan Kampung Wirogunan, lokasi Sekolah Rakyat tempat Soegija dulu menuntut ilmu. Akan tetapi, wilayah pelayanan yang lebih luas baru satu tahun terakhir dikenali oleh Romo Soegijapranata.
Di tempatnya yang baru, Romo Soegijapranata dibantu oleh Romo A. de Kuijper. Romo de Kuijper adalah orang baru untuk wilayah Yogyakarta, baru satu tahun bertugas di Yogyakarta, tepatnya di Kolese Ignatius Kotabaru, tempat pembinaan calon-calon imam Serikat Yesus. Romo de Kuijper yang datang ke Hindia Belanda pada tahun1921 sebelumnya bertugas di bidang pendidikan di Ambarawa dan Muntilan. Jadi, karya pelayanan pastoral dan wilayah Yogyakarta, keduanya merupakan hal yang baru baginya. Dengan demikian, relasi mereka berdua banyak ditentukan oleh Romo Soegijapranata yang lebih berpengalaman di bidang pelayanan pastoral umat dan dalam penguasaan wilayah Yogyakarta. Apa yang dibuat oleh Romo Soegijapranata bersama-sama dengan Romo A. de Kuijper dalam tugasnya sebagai pastor paroki di tempat tersebut? Tidak banyak sumber sejarah yang dapat menjelaskan pertanyaan tersebut. Ada satu naskah notulen rapat para pastor paroki yang diselenggarakan di Muntilan 1935. Di dalamnya termuat pandangan-pandangan Romo Soegija. Beberapa sumber lain berupa artikel-artikel dalam Swaratama dan Peraba.
Majalah Swaratama edisi 13 Februari 1935 memuat “Laporan Pelayanan Sakramental dari Resort Yogyakarta Tahun 1934”. Di dalamnya tertulis jumlah orang yang datang pada pelayanan sakramen pengakuan; jumlah perayaan Ekaristi yang diselenggarakan selama satu tahun; jumlah Komuni yang dibagikan dalam perayaan Ekaristi; jumlah pasangan yang menerima sakramen perkawinan; dan jumlah umat yang menerima sakramen penguatan. Cakupan daerahnya dipisahkan dalam dua klasifikasi : wilayah kota Yogyakarta dan wilayah luar kota Yogyakarta. Cakupan wilayah pelayanan dalam kota Yogyakarta memiliki empat pusat: Bintaran, Kidulloji, Pugeran, dan Kotabaru. Dalam catatan tambahan disebutkan bahwa di Bintaran pelayanan baru mulai diberikan pada tanggal 8 April 1934, sedangkan untuk Paroki Pugeran baru dimulai pada tanggal 8 Juli 1934. Sedangkan wilayah -wilayah yang termasuk luar Kota Yogyakarta menyebar di berbagai tempat meliputi Bantul, Bokong, Brengosan, Brosot, Dero, Duwet, Imogiri, Ganjuran, Gunturgeni,Kalasan, Kedaton Pleret, Kleben, Kliripan, Kokap, Medari, Mejing, Ngomplok, Ngijon, Sedayu, Somohitan,Wonosari, dan Wates. Dan, wilayah luas luar kota tersebut sebagian besar dilayani oleh pastor yang tinggal di keempat pusat yang berada di Kota Yogyakarta. Dalam lingkup berbagai kegiatan dan pelayanan itulah untuk pertamakalinya Romo Soegijapranata mengemban tugas menjadi pastor paroki di tengah kaum pribumi. Dalam berbagai kegiatan pelayanan sakramental dan pelayanan pastoral itulah Romo Soegijapranata melaksanakan karya pelayanannya sebagai imam.
(Dikutip dari buku tulisan: G. Budi Subanar, SJ. Yang berjudul “SOEGIJA Si Anak Betlehem van Java: Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius 2003: hal 106-108).
No comments:
Post a Comment