Oleh:
Gregorius Septa Agung Kurniawan
Seperti biasa sebelum sulur cahaya fajar merekah, lonceng berdentang yang frekuensinya tidak asing lagi bagi telinga Magdalena. Dentang itu sekaligus pengganti jam weker yang lama ingin dimilikinya namun sampai hari ini belum juga dipegangnya. Sebenarnya pagi itu matanya masih mengantuk, bagai kelopaknya dikunci dengan seribu borgol. Namun dentang itu menyulut semangatnya dan membakar niatnya agar segera beranjak dari ranjang. Dengan berjalan terhuyung-huyung menuju kamar mandi dia menyambar handuk yang ada di dinding. Begitu terguyur air kesegaran, seribu borgol di matanya seolah berdentingan di lantai dan ia merasa segar.
Mengenakan baju warna biru muda dan celana rok panjang warna putih, Magdalena berjalan menyusuri trotoar menuju sebuah gereja tua menenteng sebuah buku yang dibalut sampul tebal warna hitam. Di depan gereja dia selalu menyempatkan waktu melihat lonceng di atas bangunan gedung yang melengkung itu. Di pintu masuk dia juga selalu membaca tulisan di bawah menara lonceng dan melafalkannya secara pelan “Soli Deo Gloria”. Dia selalu membaca dan menghafalkannya namun sampai hari inipun dia juga tidak pernah tahu arti dari kata itu. Bukan kata itu yang penting untuk dipikirkannya ada banyak hal lain yang sudah menanti untuk dipikirkan dengan serius hari itu. Baginya bersyukur pada Tuhan atas awal hari dan karunia detik napas yang telah dilimpahkan padanya. Sehingga dapat memulai hari dengan mendengarkan Sabda Tuhan dan semangat hati untuk menikmati karunia-Nya dengan sungguh-sungguh.
Selesai Misa Magdalena berjalan menuju sudut depan sekitar altar purba. Dia mengambil sebuah lilin, menyalakannya lalu berlutut dan memejamkan mata. Kali ini dia mendaraskan bulir-bulir kegelisahannya di depan Bunda Maria. Kontemplatifnya menunjukkan keinginan terdalamnya. Dalam hatinya dia bertanya, apakah benar seorang wanita diciptakan dari tulang rusuk seorang pria? Jika itu benar, mengapa sudah memasuki usia kepala dua dia tidak melihat adanya tanda-tanda akan bertemunya dengan seseorang yang kehilangan tulang rusuknya. Lalu apa itu makna panggilan? Apakah dia salah satu yang terpilih? Bulir-bulir kegelisahan itu didaraskan agar pikirannya lebih jernih memilih jalan yang ada di depannya. Dia tidak berdoa untuk dikabulkan permintaannya. Dia tahu dan menyadari bahwa manusia sendirilah yang mempunyai kebebasan untuk memilih. Dia hanya berdoa untuk mengeluarkan sampah-sampah di alam bawah sadarnya agar menguap keluar sehingga yang tertinggal adalah kejernihan dan kebenaran sehingga pilihan yang dijalaninya tepat.
Selama memejamkan mata, Magdalena tidak mengikuti pikirannya yang berkecamuk. Dia hanya berusaha mengekor di setiap pikiran yang muncul. Pikiran-pikirannya dan keinginannya timbul tenggelam silih berganti. Hanya ada satu yang tidak bisa hilang dan imajinasi itu terus muncul adalah wajah seorang laki-laki sedang menyanyi di barisan belakang sebuah koor. Wajah itu menatapnya, matanya bercahaya seperti cahaya lilin yang tadi disulutnya.
Pelan-pelan ia membuka matanya. Lalu duduk diam menatap ke depan. Cahaya Lilin di bawah Bunda Maria melambai mengingatkannya akan mata laki-laki yang menatapnya di barisan belakang paduan suara tadi. Lilin yang melambai itu terus dipandangnya. Lilin itu menetes laksana tetesan keringat yang menyatakan keletihannya. Sama seperti keletihannya untuk tetap menanti tanda-tanda. Di sekitar sumbu, minyak menggenang mencoba bertahan agar cahaya lilin tetap menyala menerangi keremangan. Air matanya mungkin juga menggenang dan menetes entah sudah kesekian kalinya berharap agar dirinya tetap menjadi cahaya bagi lingkungan pergaulannya. Magdalena tersenyum, kali ini dia melangkah ringan menuju pintu keluar dengan imajinasi yang samar tentang wajah laki-laki di deretan belakang sebuah paduan suara dengan mata bercahaya selembut lilin. Setelah mengambil air suci, menghadap tabernakel, lalu membuat tanda salib, dia keluar dari gereja tua menuju papan pengumuman. Siapa tahu kali ini ada pengumuman kegiatan yang menarik hatinya. Ketika berjalan ke arah papan pengumuman, alangkah terkejutnya dia melihat seorang laki-laki dari arah selatan menuntun sepeda onthelnya mau keluar gerbang. Dadanya berdegub sebab wajah itu tak lain adalah wajah seorang laki-laki yang berdiri di deretan koor dalam imajinasinya. Ketika laki-laki menengok ke muka, tatapan merekapun bertemu dan Magdalena seolah lemas lututnya ketika dalam bola mata laki-laki itu ada cahaya lilin yang melambai-lambai.
***
Hari itu Minggu sore. Mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Semburat cahayanya kuning keemasan memantul ke dinding bagian dalam gereja memendarkan warna kemilau di altar. Di deretan bangku bagian barat agak depan, Magdalena duduk dengan khusuk mendengarkan khotbah sore itu. Kasih itu sabar, Kasih itu murah hati, Kasih itu tidak memegahkan diri, Kasih itu tidak sombong. Kata-kata dari seorang pastur itu begitu sejuk masuk di telinganya. Lagu kupersembahkan yang dinyanyikan oleh Paduan Suara “Fidelis” menambah semangat sesudahnya. Begitu pula hati Magdalena yang ikut menari-nari ketika seorang laki-laki dengan mata selembut lilin berdiri di deretan belakang paduan suara itu. Dia jadi tahu bahwa lelaki itu ternyata salah seorang anggota paduan suara itu. Selesai misa Magdalena berjalan ke papan pengumuman lagi siapa tahu laki-laki dengan mata selembut lilin itu nanti muncul lagi dari arah selatan. Namun kali ini dia kecewa, tak ada sepeda yang keluar dari gerbang sebelah utara dan tak ada satu sepedapun diparkir di situ. Magdalena baru menyadari ketololannya bahwa hanya Misa Harian yang boleh memarkir sepeda di situ. Sedang kalau hari Sabtu dan Minggu umat memarkir sepedanya di gerbang belakang dekat Komsos.
Kekecewaan Magdalena sedikit terobati ketika dia membaca di papan pengumuman. Pengumuman di salah sudut atas paling selatan berbunyi: Jika anda suka menyanyi dan tertarik untuk memuliakan nama Tuhan lewat kidung suaramu bergabunglah bersama kami: Paduan Suara Fidelis Paroki Bintaran Yogyakarta. Untuk memperingati Bulan Maria ini kami akan mengadakan Ziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa sekaligus ramah tamah dengan anggota baru. Berdampingan dengan pengumuman Fidelis di sampingnya juga ada panflet warna biru yang mengajaknya bermain musik. Namun Magdalena lebih serius membaca tentang Panflet milik Fidelis itu. Pengumuman itu seolah jawaban atas doa Magdalena selama ini. Segera dia mencari informasi ke Pengurus Fidelis dan mencantumkan namanya sebagai peserta ziarah.
Minggu pagi, segerombolan anak muda duduk di halaman aula gereja. Bersendau gurau, ketawa-ketiwi, dan saling ejek. Di gerombolan lain ada pemuda yang ngobrol dengan serius. Di antara gerombolan pemudi itu ada seorang gadis yang mengikuti canda ria dengan matanya berkeliling dari tadi mencari seseorang. Setelah beberapa lama berpatroli mata itupun kelihatan kecewa ketika tidak ditemui apa yang dicarinya. Namun beberapa menit kemudian mata itu kembali berbinar ketika sebuah sepeda melintas di depannya. Lelaki agak gondrong, berkulit coklat gelap dengan senyum lebarnya berjalan mendekati rombongan pemuda. Tanpa disadarinya sepasang mata mengamatinya dengan tajam sejak tadi. Setelah terlihat cukup dan semua dirasa sudah kumpul, rombongan itupun segera dinaikkan bis dan rombongan lainnya naik satu buah mobil. Mata Magdalena tampak sedikit kecewa ketika dia harus berpisah dengan rombongan lelaki bermata lilin tadi.
Selama dalam perjalanan Magdalena mencoba merefleksikan diri apa makna dari semua ini. Apakah memang dia harus ke Golgota dulu agar bisa memaknai arti cinta? Apakah begini cinta. Mengapa kehidupannya tidak seindah seperti cerita sinetron di TV? Pertanyaan itu berkecamuk dalam perjalanan itu. Namun dia membuang jauh lamunannya dan mencoba membaur dengan teman satu bisnya yang dari tadi ketawa-ketiwi. Mbak Margaretha yang mencoba mengenalkan dirinya dengan semua peserta dan dia mulai tahu nama para peserta lain ada yang namanya Brigitta, Yustina, Cicilia, Ester, Francisca, Theresia, Yohana, Martha, dan lain-lain. Dia sudah punya banyak kenalan di sana namun rasanya masih hampa, masih kosong seolah masih ada yang belum dimengertinya.
Matahari menyengat membakar apa saja yang ada dibawahnya termasuk peserta ziarah. Gara-gara ulah matahari maka topi, lengan panjang, dan jaket menjadi berguna. Namun Topi dan jaket tidak bisa memadamkan hati Magdalena yang seolah terbakar ketika lelaki dengan mata selembut lilin itu berjalan bersama seorang wanita yang tampak mesra. Namun di perhentian pertama api amarahnya agak mereda ketika melihat gambar Yesus lalu dia mulai teringat akan kata-kata pastur sore itu: Kasih itu tidak cemburu. Kali ini bukan hanya kata-kata saja atau tulisan di kitab suci namun dia harus mengalaminya sendiri dan menerapkan ajaran itu.
Mentari semakin menyengat begitu juga jalan salib itu bertambah berat bagi Magdalena ketika dia harus menyulut lilin dan meletakkannya, berdoa dan memandang lilin itu lalu imajinasinya membayangkan seorang lelaki bermata selembut lilin. Namun kali ini lelaki itu ditempel terus dan berjalan berdampingan terus bersama wanita lain. Buku doa mereka pakai berdua dan ketika wanita itu mau meletakkan lilin, lelaki bermata selembut lilin itu yang menyalakannya. Seolah mereka sangat romantis dan harmonis dan semua itu terjadi di depan mata Magdalena. Seolah semua mimpi sia-sia. Semua imajinasi menjadi sirna.
Di Pemberhentian, ketika Yesus jatuh untuk pertama kali. Itu juga yang dirasakan Magdalena. Hatinya rasanya runtuh, namun dia tetap berjalan seperti Yesus harus menyelesaikan jalan salibnya. Di pemberhentian ketika Yesus jatuh untuk kedua kalinya, saat itu wanita yang berada di samping lelaki bermata selembut lilin tadi terpleset batu licin sehingga membuat Si Lilin memegangnya dan mereka berdua hampir jatuh bersamaan dalam posisi berpelukan erat. Kali ini hati Magdalena jatuh untuk yang kedua kalinya. Saat itu Magdalena bisa memahami arti Sabda Yesus: Ya Bapa Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
***
Di sekitar altar purba, retakan dinding sudah merapat. Memancar harap mengukir sejarah. Bunga-bunga tersenyum, dupa menari berkeliling. Simfoni organ bergaung menggema menggetarkan gedung lengkung. Kidung Magdalena berkumandang dengan indah. Hanya kali ini dia tidak lagi berada di deretan kursi sebelah barat. Di belakangnya sekarang berdiri lelaki bermata cahaya lilin. Magdalena sudah tahu namanya namun kali ini setiap kali mereka mempersembahkan kidung agung mereka, Magdalena tidak lagi bisa memandang keindahan mata cahaya lilin yang melambai itu. Namun sekarang dia merasa hangat jika disinari oleh cahaya itu dari belakang. Dia tidak melihat lagi namun percaya bahwa berada dekat dengan cahaya itu akan menghangatkan hatinya dan mendamaikan jiwanya. Dia sekarang nyaman berada di komunitas itu dan merasa damai, tentram, dan bahagia ketika berada dekat dengan lelaki bercahaya selembut lilin itu. Hanya kadang Magdalena hatinya kembali menyala ketika dirigen di depannya matanya bercahaya ketika melihat lelaki bercahaya selembut lilin yang berdiri di belakangnya.
Bintaran, 1 Juli 2007
Gregorius Septa Agung Kurniawan
Seperti biasa sebelum sulur cahaya fajar merekah, lonceng berdentang yang frekuensinya tidak asing lagi bagi telinga Magdalena. Dentang itu sekaligus pengganti jam weker yang lama ingin dimilikinya namun sampai hari ini belum juga dipegangnya. Sebenarnya pagi itu matanya masih mengantuk, bagai kelopaknya dikunci dengan seribu borgol. Namun dentang itu menyulut semangatnya dan membakar niatnya agar segera beranjak dari ranjang. Dengan berjalan terhuyung-huyung menuju kamar mandi dia menyambar handuk yang ada di dinding. Begitu terguyur air kesegaran, seribu borgol di matanya seolah berdentingan di lantai dan ia merasa segar.
Mengenakan baju warna biru muda dan celana rok panjang warna putih, Magdalena berjalan menyusuri trotoar menuju sebuah gereja tua menenteng sebuah buku yang dibalut sampul tebal warna hitam. Di depan gereja dia selalu menyempatkan waktu melihat lonceng di atas bangunan gedung yang melengkung itu. Di pintu masuk dia juga selalu membaca tulisan di bawah menara lonceng dan melafalkannya secara pelan “Soli Deo Gloria”. Dia selalu membaca dan menghafalkannya namun sampai hari inipun dia juga tidak pernah tahu arti dari kata itu. Bukan kata itu yang penting untuk dipikirkannya ada banyak hal lain yang sudah menanti untuk dipikirkan dengan serius hari itu. Baginya bersyukur pada Tuhan atas awal hari dan karunia detik napas yang telah dilimpahkan padanya. Sehingga dapat memulai hari dengan mendengarkan Sabda Tuhan dan semangat hati untuk menikmati karunia-Nya dengan sungguh-sungguh.
Selesai Misa Magdalena berjalan menuju sudut depan sekitar altar purba. Dia mengambil sebuah lilin, menyalakannya lalu berlutut dan memejamkan mata. Kali ini dia mendaraskan bulir-bulir kegelisahannya di depan Bunda Maria. Kontemplatifnya menunjukkan keinginan terdalamnya. Dalam hatinya dia bertanya, apakah benar seorang wanita diciptakan dari tulang rusuk seorang pria? Jika itu benar, mengapa sudah memasuki usia kepala dua dia tidak melihat adanya tanda-tanda akan bertemunya dengan seseorang yang kehilangan tulang rusuknya. Lalu apa itu makna panggilan? Apakah dia salah satu yang terpilih? Bulir-bulir kegelisahan itu didaraskan agar pikirannya lebih jernih memilih jalan yang ada di depannya. Dia tidak berdoa untuk dikabulkan permintaannya. Dia tahu dan menyadari bahwa manusia sendirilah yang mempunyai kebebasan untuk memilih. Dia hanya berdoa untuk mengeluarkan sampah-sampah di alam bawah sadarnya agar menguap keluar sehingga yang tertinggal adalah kejernihan dan kebenaran sehingga pilihan yang dijalaninya tepat.
Selama memejamkan mata, Magdalena tidak mengikuti pikirannya yang berkecamuk. Dia hanya berusaha mengekor di setiap pikiran yang muncul. Pikiran-pikirannya dan keinginannya timbul tenggelam silih berganti. Hanya ada satu yang tidak bisa hilang dan imajinasi itu terus muncul adalah wajah seorang laki-laki sedang menyanyi di barisan belakang sebuah koor. Wajah itu menatapnya, matanya bercahaya seperti cahaya lilin yang tadi disulutnya.
Pelan-pelan ia membuka matanya. Lalu duduk diam menatap ke depan. Cahaya Lilin di bawah Bunda Maria melambai mengingatkannya akan mata laki-laki yang menatapnya di barisan belakang paduan suara tadi. Lilin yang melambai itu terus dipandangnya. Lilin itu menetes laksana tetesan keringat yang menyatakan keletihannya. Sama seperti keletihannya untuk tetap menanti tanda-tanda. Di sekitar sumbu, minyak menggenang mencoba bertahan agar cahaya lilin tetap menyala menerangi keremangan. Air matanya mungkin juga menggenang dan menetes entah sudah kesekian kalinya berharap agar dirinya tetap menjadi cahaya bagi lingkungan pergaulannya. Magdalena tersenyum, kali ini dia melangkah ringan menuju pintu keluar dengan imajinasi yang samar tentang wajah laki-laki di deretan belakang sebuah paduan suara dengan mata bercahaya selembut lilin. Setelah mengambil air suci, menghadap tabernakel, lalu membuat tanda salib, dia keluar dari gereja tua menuju papan pengumuman. Siapa tahu kali ini ada pengumuman kegiatan yang menarik hatinya. Ketika berjalan ke arah papan pengumuman, alangkah terkejutnya dia melihat seorang laki-laki dari arah selatan menuntun sepeda onthelnya mau keluar gerbang. Dadanya berdegub sebab wajah itu tak lain adalah wajah seorang laki-laki yang berdiri di deretan koor dalam imajinasinya. Ketika laki-laki menengok ke muka, tatapan merekapun bertemu dan Magdalena seolah lemas lututnya ketika dalam bola mata laki-laki itu ada cahaya lilin yang melambai-lambai.
***
Hari itu Minggu sore. Mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Semburat cahayanya kuning keemasan memantul ke dinding bagian dalam gereja memendarkan warna kemilau di altar. Di deretan bangku bagian barat agak depan, Magdalena duduk dengan khusuk mendengarkan khotbah sore itu. Kasih itu sabar, Kasih itu murah hati, Kasih itu tidak memegahkan diri, Kasih itu tidak sombong. Kata-kata dari seorang pastur itu begitu sejuk masuk di telinganya. Lagu kupersembahkan yang dinyanyikan oleh Paduan Suara “Fidelis” menambah semangat sesudahnya. Begitu pula hati Magdalena yang ikut menari-nari ketika seorang laki-laki dengan mata selembut lilin berdiri di deretan belakang paduan suara itu. Dia jadi tahu bahwa lelaki itu ternyata salah seorang anggota paduan suara itu. Selesai misa Magdalena berjalan ke papan pengumuman lagi siapa tahu laki-laki dengan mata selembut lilin itu nanti muncul lagi dari arah selatan. Namun kali ini dia kecewa, tak ada sepeda yang keluar dari gerbang sebelah utara dan tak ada satu sepedapun diparkir di situ. Magdalena baru menyadari ketololannya bahwa hanya Misa Harian yang boleh memarkir sepeda di situ. Sedang kalau hari Sabtu dan Minggu umat memarkir sepedanya di gerbang belakang dekat Komsos.
Kekecewaan Magdalena sedikit terobati ketika dia membaca di papan pengumuman. Pengumuman di salah sudut atas paling selatan berbunyi: Jika anda suka menyanyi dan tertarik untuk memuliakan nama Tuhan lewat kidung suaramu bergabunglah bersama kami: Paduan Suara Fidelis Paroki Bintaran Yogyakarta. Untuk memperingati Bulan Maria ini kami akan mengadakan Ziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa sekaligus ramah tamah dengan anggota baru. Berdampingan dengan pengumuman Fidelis di sampingnya juga ada panflet warna biru yang mengajaknya bermain musik. Namun Magdalena lebih serius membaca tentang Panflet milik Fidelis itu. Pengumuman itu seolah jawaban atas doa Magdalena selama ini. Segera dia mencari informasi ke Pengurus Fidelis dan mencantumkan namanya sebagai peserta ziarah.
Minggu pagi, segerombolan anak muda duduk di halaman aula gereja. Bersendau gurau, ketawa-ketiwi, dan saling ejek. Di gerombolan lain ada pemuda yang ngobrol dengan serius. Di antara gerombolan pemudi itu ada seorang gadis yang mengikuti canda ria dengan matanya berkeliling dari tadi mencari seseorang. Setelah beberapa lama berpatroli mata itupun kelihatan kecewa ketika tidak ditemui apa yang dicarinya. Namun beberapa menit kemudian mata itu kembali berbinar ketika sebuah sepeda melintas di depannya. Lelaki agak gondrong, berkulit coklat gelap dengan senyum lebarnya berjalan mendekati rombongan pemuda. Tanpa disadarinya sepasang mata mengamatinya dengan tajam sejak tadi. Setelah terlihat cukup dan semua dirasa sudah kumpul, rombongan itupun segera dinaikkan bis dan rombongan lainnya naik satu buah mobil. Mata Magdalena tampak sedikit kecewa ketika dia harus berpisah dengan rombongan lelaki bermata lilin tadi.
Selama dalam perjalanan Magdalena mencoba merefleksikan diri apa makna dari semua ini. Apakah memang dia harus ke Golgota dulu agar bisa memaknai arti cinta? Apakah begini cinta. Mengapa kehidupannya tidak seindah seperti cerita sinetron di TV? Pertanyaan itu berkecamuk dalam perjalanan itu. Namun dia membuang jauh lamunannya dan mencoba membaur dengan teman satu bisnya yang dari tadi ketawa-ketiwi. Mbak Margaretha yang mencoba mengenalkan dirinya dengan semua peserta dan dia mulai tahu nama para peserta lain ada yang namanya Brigitta, Yustina, Cicilia, Ester, Francisca, Theresia, Yohana, Martha, dan lain-lain. Dia sudah punya banyak kenalan di sana namun rasanya masih hampa, masih kosong seolah masih ada yang belum dimengertinya.
Matahari menyengat membakar apa saja yang ada dibawahnya termasuk peserta ziarah. Gara-gara ulah matahari maka topi, lengan panjang, dan jaket menjadi berguna. Namun Topi dan jaket tidak bisa memadamkan hati Magdalena yang seolah terbakar ketika lelaki dengan mata selembut lilin itu berjalan bersama seorang wanita yang tampak mesra. Namun di perhentian pertama api amarahnya agak mereda ketika melihat gambar Yesus lalu dia mulai teringat akan kata-kata pastur sore itu: Kasih itu tidak cemburu. Kali ini bukan hanya kata-kata saja atau tulisan di kitab suci namun dia harus mengalaminya sendiri dan menerapkan ajaran itu.
Mentari semakin menyengat begitu juga jalan salib itu bertambah berat bagi Magdalena ketika dia harus menyulut lilin dan meletakkannya, berdoa dan memandang lilin itu lalu imajinasinya membayangkan seorang lelaki bermata selembut lilin. Namun kali ini lelaki itu ditempel terus dan berjalan berdampingan terus bersama wanita lain. Buku doa mereka pakai berdua dan ketika wanita itu mau meletakkan lilin, lelaki bermata selembut lilin itu yang menyalakannya. Seolah mereka sangat romantis dan harmonis dan semua itu terjadi di depan mata Magdalena. Seolah semua mimpi sia-sia. Semua imajinasi menjadi sirna.
Di Pemberhentian, ketika Yesus jatuh untuk pertama kali. Itu juga yang dirasakan Magdalena. Hatinya rasanya runtuh, namun dia tetap berjalan seperti Yesus harus menyelesaikan jalan salibnya. Di pemberhentian ketika Yesus jatuh untuk kedua kalinya, saat itu wanita yang berada di samping lelaki bermata selembut lilin tadi terpleset batu licin sehingga membuat Si Lilin memegangnya dan mereka berdua hampir jatuh bersamaan dalam posisi berpelukan erat. Kali ini hati Magdalena jatuh untuk yang kedua kalinya. Saat itu Magdalena bisa memahami arti Sabda Yesus: Ya Bapa Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
***
Di sekitar altar purba, retakan dinding sudah merapat. Memancar harap mengukir sejarah. Bunga-bunga tersenyum, dupa menari berkeliling. Simfoni organ bergaung menggema menggetarkan gedung lengkung. Kidung Magdalena berkumandang dengan indah. Hanya kali ini dia tidak lagi berada di deretan kursi sebelah barat. Di belakangnya sekarang berdiri lelaki bermata cahaya lilin. Magdalena sudah tahu namanya namun kali ini setiap kali mereka mempersembahkan kidung agung mereka, Magdalena tidak lagi bisa memandang keindahan mata cahaya lilin yang melambai itu. Namun sekarang dia merasa hangat jika disinari oleh cahaya itu dari belakang. Dia tidak melihat lagi namun percaya bahwa berada dekat dengan cahaya itu akan menghangatkan hatinya dan mendamaikan jiwanya. Dia sekarang nyaman berada di komunitas itu dan merasa damai, tentram, dan bahagia ketika berada dekat dengan lelaki bercahaya selembut lilin itu. Hanya kadang Magdalena hatinya kembali menyala ketika dirigen di depannya matanya bercahaya ketika melihat lelaki bercahaya selembut lilin yang berdiri di belakangnya.
Bintaran, 1 Juli 2007
No comments:
Post a Comment