Teman-teman studi kasus kali ini bukan merupakan kasus yang begitu besar, menyangkut kepentingan dunia atau negara. Karena kita adalah misdinar paroki St. Yusuf Bintaran maka study kasus kali ini simple saja menyangkut peran kita sebagai misdinar di paroki kita. Intinya nggak perlu muluk-muluk. Jika kita ingin mengubah dunia, maka kita memulianya dari diri kita sendiri dahulu.
Nah, begini kasusnya : tidak bisa dipungkiri dalam sebuah perayaan ekaristi membutuhkan Putra-putri altar, meski misa juga tetap dapat berlangsung meski tidak ada misdinar. Tentu kita semua tahu itu. Sehingga tak jarang kita cuek dengan ketidakhadiran atau terlambatnya petugas misdinar dalam sebuah misa. Situasi di paroki kita lebih menyedihkan lagi. Sikap-sikap liturgis seorang pelayan altar yang seharusnya menjadi contoh bagi umat yang lain sering kali juga tidak di perhatikan. Misalnya cara berjalan, gerakan menundukkan kepala dan berlutut seakan terkesan hanya sebuah formalitas. Dan tidak nampak makna liturgisnya. (ini bukan kritik yang waton muni, tapi sungguh fakta yang banyak dikeluhkan umat paroki).
Ada hal yang lebih parah lagi, senior, senior misdinar paoki kita terkesan tidak perduli dalam mendampingi adik-adiknya, bahkan justru terkesan berseberangan. (ini kesan yang dilihat oleh umat paroki). Ada lagi yang lebih menyedihkan. Seorang misdinar yang adalah pelayan Tuhan di altar, tidak menampakkan tata kramanya di luar altar. Ada kecendrungan anggota misdinar lebih memilih tugas parkir, jaga bulletin, jual lilin saat paskah katimbang tugas melayani Tuhan di altar. Kita tidak perlu mencari contohnya ataupun pelakukan, masing-masing dari kita pernah melakukan hal itu, dan ketika di ingatkan oleh orang lain ada kecenderungan semua dari membela diri dan mencari pembenaranya. Seperti itu “sudah menjadi tradisi” , “misdinar butuh dana”, dan ada banyak kata-kata pembelaan yang lain.
Nah ada yang harus kita pikirkan untuk adalah mengapa hal itu dapat terjadi dan mengapa tradisi-tradisi buruk dari senior-senior justru yang kita budayakan? Mengapa budaya baik seperti, bersih-bersih gereja dan alat liturgi, sikap yang baik saat menjadi pelayan altar, pengenalan seluk-beluk liturgi dan sopan satun sebagai misdinar justru hilang? Menjadi pertanyaan kita semua tentunya? Ini kasus yang harus kita diskusikan bersama dan kita cari pemecahanya bersama.
Misdinar paroki kita itu adalah calon penerus genersi muda gereja kita nah kalau bukan kita siapa yang akan mendampingi. Harapan penulis ada yang tergerak mendampingi mereka untuk mengereja dengan lebih baik lagi. I hope !!!
http://www.mitromoto.co.nr
Nah, begini kasusnya : tidak bisa dipungkiri dalam sebuah perayaan ekaristi membutuhkan Putra-putri altar, meski misa juga tetap dapat berlangsung meski tidak ada misdinar. Tentu kita semua tahu itu. Sehingga tak jarang kita cuek dengan ketidakhadiran atau terlambatnya petugas misdinar dalam sebuah misa. Situasi di paroki kita lebih menyedihkan lagi. Sikap-sikap liturgis seorang pelayan altar yang seharusnya menjadi contoh bagi umat yang lain sering kali juga tidak di perhatikan. Misalnya cara berjalan, gerakan menundukkan kepala dan berlutut seakan terkesan hanya sebuah formalitas. Dan tidak nampak makna liturgisnya. (ini bukan kritik yang waton muni, tapi sungguh fakta yang banyak dikeluhkan umat paroki).
Ada hal yang lebih parah lagi, senior, senior misdinar paoki kita terkesan tidak perduli dalam mendampingi adik-adiknya, bahkan justru terkesan berseberangan. (ini kesan yang dilihat oleh umat paroki). Ada lagi yang lebih menyedihkan. Seorang misdinar yang adalah pelayan Tuhan di altar, tidak menampakkan tata kramanya di luar altar. Ada kecendrungan anggota misdinar lebih memilih tugas parkir, jaga bulletin, jual lilin saat paskah katimbang tugas melayani Tuhan di altar. Kita tidak perlu mencari contohnya ataupun pelakukan, masing-masing dari kita pernah melakukan hal itu, dan ketika di ingatkan oleh orang lain ada kecenderungan semua dari membela diri dan mencari pembenaranya. Seperti itu “sudah menjadi tradisi” , “misdinar butuh dana”, dan ada banyak kata-kata pembelaan yang lain.
Nah ada yang harus kita pikirkan untuk adalah mengapa hal itu dapat terjadi dan mengapa tradisi-tradisi buruk dari senior-senior justru yang kita budayakan? Mengapa budaya baik seperti, bersih-bersih gereja dan alat liturgi, sikap yang baik saat menjadi pelayan altar, pengenalan seluk-beluk liturgi dan sopan satun sebagai misdinar justru hilang? Menjadi pertanyaan kita semua tentunya? Ini kasus yang harus kita diskusikan bersama dan kita cari pemecahanya bersama.
Misdinar paroki kita itu adalah calon penerus genersi muda gereja kita nah kalau bukan kita siapa yang akan mendampingi. Harapan penulis ada yang tergerak mendampingi mereka untuk mengereja dengan lebih baik lagi. I hope !!!
http://www.mitromoto.co.nr
No comments:
Post a Comment